Mengutip dari beberapa media kasus ini bermula di tahun 2014, pada saat itu Indonesia mengalami surplus gula kristal putih tapi Tom sebagai mentri perdagangan mengeluarkan kebijakan impor gula kristal mentah di tahun 2015.
Alasannya? Pada tahun 2016, Indonesia akan kekurangan stok gula kristal putih sebanyak 207 ribu ton. Sehingga, Tom Lembong mengeluarkan instruksi untuk melakukan impor gula kristal mentah yang nantinya akan diolah jadi gula kristal putih guna memenuhi demand dari dalam negeri.
PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (BUMN) merupakan pihak yang berwenang untuk melakukan impor GKM, tapi, PT PPI justru menyuruh 8 perusahaan swasta untuk mengimpor GKM sebanyak 105 ribu ton GKM yang nantinya akan diolah jadi GKP.
Kebijakan tersebut bertentangan dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 257 Tahun 2014 menegaskan bahwa hanya BUMN yang dapat mengimpor GKP.
PT PPI memerintahkan 8 perusahaan swasta untuk melakukan impor GKM yang nantinya akan diolah jadi GKP, sedangkan PT PPI sesuai aturan hanya boleh impor GKP.
Sementara 8 perusahaan swasta tersebut tidak punya izin untuk mengolah GKM menjadi GKP, hanya memiliki izin impor gula rafinasi (GKR)
Dalam proses impor tersebut terjadilah mark up harga tertinggi eceran atau HET, yang tadinya Rp 13.000 menjadi Rp 26.000 ke PT PPI. Sehingga fee yang diterima PT PP sendiri yaitu, Rp 105/kg.
Nah yang jadi pertanyaan, apakah Tom mengetahui jika PT PPI menyuruh 8 perusahaan swasta untuk melakukan impor GKM? karema Jika tidak, maka yang seharusnya disalahkan yaitu Charles Sitorus sebagai pihak yang memerintahkan 8 perusahaan swasta tersebut.
Mungkinkah, penetapan Tom sebagai tersangka bisa jadi karena sikap politis untuk menjatuhkan Tom?
Kasus ini semakin aneh jika dilihat dari sudut pandang potential Loss, karena menurut beberapa sumber, MK mencabut potential loss sebagai acuan tindakan korupsi. Terlebih jika pakai sudut pandang “potensi pendapatan negara” jika impor dilakukan oleh BUMN, karena ini masuknya ke manajemen risiko yang mana, bisa saja tender diberikan ke BUMN karena bisa untung Rp 400 M. Nah masalahnya, kalo negara untungnya di bawah Rp 400 M, siapa yang akan bertanggung jawab?
Baik potential loss maupun opportunity cost, keduanya sama saja seperti sedang berjudi. (bungsu)
Posting Komentar